Kalimat ini selalu berputar – putar di kepala saya. Saya menuliskannya karena saya belum mencapai hal tersebut. Bila diterjemahkan dengan contoh, maka orang yang telah Selesai dengan Diri Sendiri, ialah orang yang kebermanfaatan dirinya bagi orang sekeliling terasa dan berdampak. Dalam skala kecil, kehadiran orang tua kita merupakan contoh konkrit Selesai dengan Diri Sendiri. Orang tua kita rela mengorbankan jiwa raganya agar cita – cita anaknya terwujud. Orang tua kita rela makan seadanya demi anaknya mencapai pendidikan lebih tinggi darinya. Berangkat pagi, pulang malam untuk mendapatkan rejeki yang bermanfaat bagi anggota keluarga termasuk anak – anaknya. Saya juga terinspirasi cerita Pak Jamil Azzaini, bagaimana orang tuanya “menjamin”kan dirinya agar anaknya bisa bersekolah dengan terhormat.
Saya lahir dan besar di "kota minyak", Balikpapan. Seperti anak kecil pada umumnya bercita-cita menjadi insinyur...rasanya bangga dan menyenangkan membayangkan memakai safety shoes dan safety helmet. Bapak saya pegawai biasa di perusahaan minyak nasional. Tidak banyak yang istimewa dari pekerjaan yang Bapak saya lakukan. Namun ada hal LUAR BIASA yang saya perhatikan. Bapak merupakan pekerja keras (berangkat jam 06.00 pulang jam 17.00, di kota kecil yang tidak alami kemacetan saat itu, tetap berangkat pagi), penghapal luar biasa (sangat hapal SK yang dimiliki perusahaan; SK berlaku vs SK tidak berlaku), mudah menolong, sangat dekat dengan lingkungan. Di luar itu semua yang menjadi panutan saya adalah bapak menjalani semua hidup dengan penuh semangat dan sabar. Bapak lahir di kota kecil Trenggalek (kota kecil di Jawa Timur), dengan hidup sangat sederhana. Sampai SMP tinggal di Trenggalek, kemudian merantau di Balikpapan. Pengalaman luar biasa yang pernah diceritakan, beliau berjalan kaki menuju ke sekolah lebih dari 15 km. Bagi saya itu usaha keras yang rasanya tidak mungkin saya lakukan. Yang saya tahu, beliau diangkat menjadi pegawai tetap di tahun 1969, lebih dari 5 tahun dari usia bekerjanya, itu hal luar biasa lainnya. Dua pengalaman di atas yang menguatkan apa yang telah kujalani saat ini. Hal yang tidak mudah dilalui namun tetap dinikmati bapakku menjadi pelajaran berharga untuk selalu kuingat dan kujalani.
Di masa
kerjanya, beliau sangat bangga bekerja sebagai karyawan. Saya belum pernah
beliau melihat beliau terlambat bekerja walaupun dalam keadaan sakit kepala
berat beliau tetap masuk. Di sela – sela waktunya beliau menyempatkan kuliah
lagi mengambil jurusan hukum di universitas swasta di Balikpapan, di hari
tertentu, beliau dan rekan - rekan belajar bersama. Saya kadang ikut nimbrung
untuk sekedar mendengarkan yang mereka diskusikan. Semangat sekali melihat
mereka belajar bersama walau hingga larut malam. Di usianya yang 40-an, beliau
meraih gelar sarjana hokum, bukan usaha yang mudah tentunya. Menjelang pensiun,
beliau mulai memikirkan lokasi menetap, akhirnya diputuskan di Surabaya.
Dengan membeli rumah di daerah Surabaya Timur, beliau mempercayakan saya dan
adik untuk menempatinya. Tahun 2002, beliau akhirnya pensiun. Bapak dikenal
sebagai sosok yang workaholic, sehingga
menjelang masa pensiunnya terlihat beliau resah. Saya yakin bukan masalah
biaya, namun karena biasa bekerja rutin dari pagi sampai sore kemudian tidak
bekerja apa yang harus dilakukan. Sebagai anak, saya yakinkan banyak kegiatan
dilakukan selepas pensiun, yang pasti beliau bisa aktivitas di lingkungan
rumah. Alhamdulillah, rumah yang dekat dengan mesjid sehingga beliau curahkan
perhatiannya ke sana.
2003 mulailah saya berkelana ke Jakarta untuk mencari sesuap nasi dan seuntai berlian 😊 Rasanya cupu banget bergabung di sebuah perusahan pengelola RS Pertamina di dekat bilangan Blok M. Diberi tanggungjawab mengelola rekrutmen dan pelatihan. Awalnya RS Pertamina dikelola langsung oleh Pertamina, seiring berjalannya waktu RS – RS tersebut dikelola secara mandiri sehingga karyawan direkrut langsung oleh manajemen di luar Pertamina. Tidak lama saya di sana, hanya 5 tahun lebih sedikit. Yang membekas adalah ketika itu di setiap hari Sabtu dan Minggu menemani fasilitator bersama peserta pelatihan ber-training ria di Ciawi. Di hari sebelumnya, Selasa hingga Kamis menyiapkan kebutuhan pelatihan, mulai data peserta hingga akomodasi di lokasi. Selalu bergembira di Sabtu dan Minggu. Begitu terus selama 72 batch. Di tahun 2014, saya diganjar pegawai ter-Ikhlas, saya kurang tahu parameternya namun dimensi Ikhlas diambil dari Core Value-nya yaitu Layanan Profesional, Ramah, Ikhlas, Mutu, dan Antusias. Selain itu, tugas menjalankan rekrutmen untuk tenaga medis maupun non medis dilakukan sesuai kebutuhan. Di luar itu yang berkesan, saya mengevaluasi jabatan terhadap 1256 nama jabatan. Tentunya bekerjasama dengan bagian terkait di RS – RS dalam grup. Di situlah saya merasa mempunyai tantangan untuk memperkenalkan dan menerapkan evaluasi jabatan. Butuh usaha tak kenal lelah untuk membumikan evaluasi jabatan bahkan harus terbang langsung ke Tanjung, Balikpapan, Cirebon, dan Prabumulih. Sampai akhirnya di 2008, saya memutuskan kembali ke Surabaya. Direktur saya bertanya, “Ngapain ke Surabaya? Di Jakarta kan enak”. “Ingin kembali ke kota asal, dok”, demikian jawaban saya. “Wah pasti gajinya jenderal ya, makanya mau kembali ke Surabaya?”. Direktur saya, adalah Brigjen (purn). dari RSPAD yang direkrut oleh komisaris. “Ga, dok. Gajinya sama kok”, saya berseloroh. Singkat cerita saya bekerja di Surabaya, di manufaktur plastik namun tidak lama karena istri saya “ketinggalan” di Jakarta. Akhirnya berusaha kembali mencari pekerjaan di Jakarta. Sempat bekerja tak lama di Klaten, sampai akhirnya kembali ke Jakarta. 2009 saya sempat membantu 2 bulan DPN APINDO (di era Pak Sofyan Wanandi, saya dibawah koordinasi Pak Aditya Warman (beliau sekarang Dewas BPJS TK)), untuk mengorganisir pelatihan IR bersertifikasi. Pak Aditya Warman yang memperkenalkan istilah Selesai dengan Diri Sendiri. Walau tak lama bekerja dengan Pak Aditya Warman namun kalimat tersebut membekas. Sebab saya melihat langsung cara kerja Pak Aditya Warman. Beliau memang sosok yang sudah Selesai dengan Diri Sendiri.
Akhirnya berlabuh di grup Astra yang bergerak di industri IT sebagai HR Generalist. Sebelum Desember 2009, saya diminta mengkoordinasi pengelolaan management trainee. 2 bulan waktu yang dibutuhkan untuk mempersiapkannya karena management trainee ini perlu dilakukan secara terintegrasi dengan people development, mengkoordinasi mulai perencanaan perekrutan (jumlah MT, kapan, biaya, hingga lokasi kampus yang disasar), penyusunan kegiatan in class training (waktu, narasumber, mentor) hingga implementasi on job training (tema OJT, buddy system, evaluasi). Management trainee disusun untuk “masa didik” 1 tahun. Mulailah berkelana mencari kandidat ke kampus – kampus, mulai dari kawasan barat hingga timur jawa; Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, hingga Malang. Singkat cerita kami mendapat 25 peserta MT, kemudian dididik di kelas selama kurang lebih sebulan hingga para MT masuk dalam proyek masing – masing dan dilakukan evaluasi hingga 1 tahun. Belum selesai 6 bulan berjalan, saya diminta membuat MT program angkatan berikutnya di Maret 2010, sampai MT keempat. Jadi lebih dari 1.5 tahun bergulat dengan MT program. Saya menikmati apalagi bertemu dengan teman – teman baru. Bahkan sampai teman – teman MT mengajak berwisata Kebun Raya Bogor, ke Pulau Tidung sampai ke Langkawi di Malaysia, tentunya dengan biaya sendiri …hahahaha. Satu yang paling saya ingat dari sebelum kegiatan MT dijalankan, adalah ketika saya pertama kali mempresentasikan proses MT ke hadapan direksi, muncul rasa grogi apa yang harus saya sampaikan. Saya siapkan material presentasi dan meminta masukan ke atasan saya, Pak Hariyono, beliau berkata, “Bagus materinya. Besok kamu presentasikan ya”. Langsung dagdigdug jantung saya, dan berpikir mengapa bukan atasan saya. Semalam saya tidak tidur nyenyak karena khawatir, takut salah, dan berpikir bagaimana cara menyampaikan presentasi yang benar. Singkat cerita, saya persentasi dan berjalan lancar. Terima kasih Pak Hariyono yang mengajarkan saya dengan caranya. Beliau selalu memberi kesempatan berkembang ke anak buahnya tanpa harus mengambil kredit karena memang keberhasilan anak buah menjadi kredit bagi atasannya. O ya 4 kelas MT yang saya kelola berbuah manis di 2011 karena saya mendapat reward ke Perth, Australia bersama istri.
Saya belajar memaknai dari peristiwa di atas tentang Selesai dengan Diri Sendiri. Di tempat bekerja sekarang pun saya menemukan sosok yang menjadi panutan untuk menjadi orang yang Selesai dengan Diri Sendiri. Saya masih berusaha menerjemahkan makna Selesai dengan Diri Sendiri untuk diri saya sendiri 😊
Komentar
Posting Komentar